| Hari Raya Idul Adha atau kurban di Indonesia merupakan hari raya besar kedua setelah Idul Fitri. Sebaliknya, bagi masyarakat Muslim-Arab di Timur Tengah, Idul Adha adalah hari raya besar pertama. Adapun Idul Fitri sebagai hari raya biasa. Idul Adha dilihat sebagai hari besar, karena di dalamnya telah merekam kejadian penting, yaitu peristiwa penyembelihan Ismail oleh ayahandanya Nabi Ibrahim. Peristiwa tersebut merupakan batu ujian ketaatan Ibrahim kepada Allah swt. Di kemudian hari, pengurbanan ini menjadi tradisi bagi umat Islam untuk menyembelih hewan kurban baik berupa kambing maupun sapi setiap tanggal 10 Dzulhijah dan hari-hari tasyrik (11,12 dan 13 Dzulhijjah).
Ali Syariati (1997) menjelaskan bahwa sejarah berkurban diawali pada saat Nabi Ibrahim merasakan kesepian karena hingga umurnya mencapai satu abad tak kunjung dikaruniai anak. Hal ini disebabkan istrinya, Sarah, yang mandul. Ibrahim hanya dapat berdoa “Ya Tuhanku, karuniailah aku seorang anak yang salih” (Qs.37:100). Selang beberapa waktu, Allah menjawab keluh kesah Ibrahim dengan mengaruniakan seorang putra bernama Ismail (dari Bahasa Ibrani yisma-mendengar dan il-tuhan yang berarti: Tuhan mendengar) melalui hamba perempuannya yang bernama Hajar. Namun di tengah kebahagiaan dan kegembiraannya itu, Allah kembali menguji Ibrahim dengan perintah melalui mimpi untuk menyembelih anak yang dikasihinya. Wahyu tersebut adalah perintah Allah, Ibrahim tidak dapat mengelak dari-Nya. Ibrahim menghadapi dua pilihan: “menyelamatkan” Ismail, atau mentaati perintah Allah dengan mengorbankannya. Ia harus memilih salah satu. “Cinta” dan “kebenaran” berperang di dalam batinnya. Untuk memecahkan persoalan ini, Ibrahim mendialogkan dengan anaknya “Wahai anakku aku bermimpi semalam bahwa aku menyembelihmu, bagaimana pendapatmu?” Sang anak yang saleh menjawab “Wahai ayahku, jika memang itu perintah Tuhanmu, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan menjumpaiku termasuk orang yang sabar (Qs. 37:102). Makna Intrinsik Dengan berat hati, Ibrahim menimbang-nimbang, barulah ia yakin dan tipu daya setan tidak dapat menghancurkan keteguhan hatinya. Maka diajak putranya ke lembah Mina untuk melaksanakan perintah Allah. Ismail dibaringkannya seperti layaknya seekor hewan yang hendak dipotong. Ketika pisau menyentuh leher Ismail, segeralah Allah berseru “Wahai Ibrahim engkau telah mentaati perintah-Ku, karena ketaatanmu aku ganti Ismail dengan seekor domba. Dan apa yang kuperintahkan adalah ujian yang berat bagimu semata, dan engkau termasuk orang yang muhsin (Qs.37:104-107). Inilah kisah Ibrahim dan putranya Ismail yang kemudian menjadi tradisi bagi kaum muslimin untuk menyembelih seekor domba (Qs.37:108). Kurban—yang secara harfiah berarti mendekatkan—dimaksudkan mendekatkan diri pada Tuhan dengan mendekatkan diri kepada sesama manusia, khususnya mereka yang sengsara. Ibadah kurban—papar Jalaludin Rakhmat (1996)—mencerminkan pesan Islam: Anda mendekatkan saudara-saudara Anda yang kekurangan. Dengan berkurban berarti kita dekat dengan mereka yang fakir. Bila Anda memiliki kenikmatan, Anda disuruh berbagi kenikmatan itu dengan orang lain. Bila puasa, Anda merasakan lapar seperti orang miskin. Maka ibadah kurban mengajak mereka untuk merasakan kenyang seperti Anda. Dengan demikian, berkurban minimal memiliki dua makna, pertama, makna sosial, untuk membangun makna ini Rasulullah menegaskan dalam sebuah hadisnya., “…Barang siapa yang memiliki kesempatan rezeki untuk berkurban, kemudian ia tidak melakukannya, maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” Dengan ini, Nabi ingin mendidik umatnya agar memiliki kepekaan terhadap sesamanya. Dengan berkurban berarti kita telah menumbuhkan solidaritas sosial. Rasulullah mengajarkan kita untuk memiliki jiwa sosial. Pada setiap hari raya Idul Adha beliau membeli dua ekor domba yang gemuk, bertanduk, berbulu putih bersih, bagus fisiknya dan tidak cacat. Kemudian setelah salat dan khutbah beliau menyembelih seekor seraya berkata”…Ya Allah terimalah ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad. Lalu Nabi menyembelih seekor lagi dengan berkata:…Ya Allah terimalah ini dari umatku.” Rasulullah telah menyembelihkan seekor domba bagi umat Islam yang tidak mampu berkurban. Beginilah model Rasullullah memberikan suri tauladan bagi umatnya, yaitu agar memiliki Islam sosial bukan Islam individual. Hanya Simbol Makna yang kedua, bahwa apa yang dikurbankan tidak boleh menusia tetapi sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia, semacam rakus, ambisi yang tak terkendali, menindas, menyerang dan tidak mengenal hukum dan norma apapun (Shihab:1997: 415). Ismail, menurut Ali Syariati, sesungguhnya hanya simbol dari setiap sesuatu yang melemahkan imanmu, setiap sesuatu yang menghalangi “perjalananmu”, setiap sesuatu yang membuat engkau memikirkan kepentinganmu sendiri, setiap sesuatu yang membuat engkau tidak dapat mendengarkan perintah Allah dan menyatakan kebenaran, setiap sesuatu yang memaksa engkau untuk “melarikan diri”, setiap sesuatu yang membutakan matamu dan telingamu. Ismail hanya simbol dari seorang manusia, benda, pangkat, realita, kedudukan dan “ kelemahan dirimu” (1997:101-2). Semua sifat dan kelemahan inilah yang harus dikorbankan, yang harus disembelih dan ditiadakan. Ismail hanya simbol dari istrimu, pekerjaanmu, keahlianmu, kepuasan nafsu seksualmu, kekuasaanmu, dan lain sebagainya. Ismail hanya simbol dari setiap sesuatu yang merampas kekebasanmu dan menghalangimu, setiap sesuatu yang membuat engkau tidak dapat mendengar dan mengetahui kebenaran, setiap sesuatu yang menyebabkan engkau mengajukan alasan-alasan untuk menghindari tanggung jawab; setiap orang yang mendukung engkau untuk memperoleh dukunganmu di kemudian hari (op.cit.,h.120-1). Sifat-sifat demikian inilah yang harus ditiadakan, disembelih dan dijadikan korban demi mencapai kurban (kedekatan) diri kepada Allah Swt. Itu sebabnya Allah mengingatkan “Daging dan darahnya sekali-kali tidak dapat mencapai Allah; tetapi ketakwaanmulah yang dapat mencapainya (Qs.22:370). Selamat Hari Raya Idul Adha 1429 H. |
|