REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV - Israel baru saja menutup stasiun radio Isrel-Palestina. Menurut para pendukung radio langkah itu sengaja dilakukan dengan motif politik untuk membungkam kritik terhadap negara Yahudi.
Kementrian Komunikasi Israel, memerintahkan stasiun Kol Hashalom, atau All for Peace, untuk tak lagi mengudara awal bulan ini dengan tuduhan melakukan siaran ilegal di Israel. Satu anggota partai Likud kanan tempat bernaung Benyamin Netanyahu, Danny Danon, bahkan sesumbar akan melakukan penyelidikan terhadap stasiun yang diduga menyerang pemerintahan Israel tersebut.
Tudingan ilegal itu sungguh ganjil mengingat stasiun telah beroperasi selama tujuh tahun. Penutupan menimbulkan keprihatinan baru mengenai kebebasan pers di saat banyak kaum liberal di Israel memandang tatanan demokrasi dibawah ancaman kelompok ultra-kanan.
Israel mengklaim bahwa All for Peace, yang didirikan aktivis Palestina dan Israel, adalah radio yang membajak frekuensi karena tanpa izin. Namun radio itu membantah dan memiliki lisensi dari otoritas Palestina dan tidak membutuhkan izin dari Israel. Stasiun itu memiliki kantor di Jerusalem Timur, namun mengudara dari Ramallah, Tepi Barat.
Manajer radio, yang dikenal tak biasa karena sikapnya yang terbuka berbicara dengan ultra-kanan Israel seimbang juga dengan militan Palestina, telah menjalani kontak rutin dengan Kementrian Komunikasi selama tujuh tahun beroperasi. Keterangan itu disampaikan direktur asal Israel, Mossi Raz yang berkeras bahwa saat itu ia diberitahu tak perlu untuk mendapat izin Israel.
"Ini jelas bermotif politik," ujar Raz yang juga mantan politisi dari partai sayap kiri, Meretz. "Saya sangat prihatin. Tidak ada lagi demokrasi di sini. Orang berpikir demokrasi hanyalah hak untuk memilik, tapi bukan hanya itu. Anda tak bisa memiliki demokrasi jika tak ada kebebasan dalam pers." ujarnya. Ia juga menambahkan akan mempersiapkan gugatan balik pada putusan di pengadilan.
Danon, politisi halauan kanan vokal yang mengeluhkan stasiun radio tersebut kepada Kejaksaan Tinggi, dua bulan lalu mengklaim perlunya menutup radio itu. "Radio radikal kiri yang menjadi instrumen penghasutan tak boleh diziinkan mengudara ke publik," ujarnya.
Ia dilaporkan keberatan dengan presenter yang mendorong warga Palestina untuk menunjukkan dukungan terhadap negara merdeka. Raz yang tak yakin apakah presenternya telah membuat seruan itu juga menantang balik letak kesalahan seruan tersebut. "Apakah benar itu penghasutan?" ujarnya.
Keputusan dibuat di saat jurnalis Israel tengah bertahan terhadap upaya-upaya kian intensif pemerintah untuk membungkam kritik, baik di media dan juga lewat pembatasan donasi asing di LSM kiri. Tak hanya itu pemerintah juga melakukan kontrol atas Mahkamah Agung dengan mengganti panel hakim yang semua independen menjadi sosok-sosok asal partai dan parlemen.
Sementara fokus utama di garis depan media Israel saat ini adalah terkait reportasi televisi Channel 10 yang juga terancam tutup. Pemerintah dilaporkan menawarkan saluran tersebut menunda pembayaran hutang kepada negara bila memecat reporter yang bertanggung jawab atas liputan investigasi tentang pendanaan perjalanan pribadi yang dibuat Benyamin Netanyahu sebelum menjadi PM. Kritik mengatakan langkah-langkah macam itu menjadi tren demi hanya menampilkan liputan yang berpihak pada Netanyahu. Presenter Channel 2, Yair Lapid, mengatakan, "Kini pemerintah tanpa kontrol tengah membungkam suara-suara yang berbeda."
0 komentar:
Posting Komentar